Benar saja, apa yang telah Suwarno paparkan secara gamblang dan panjang lebar itu bukanlah isapan jempol belaka. Sejak kejadian itu tak pernah lagi ada yang mengganggu hubungan mereka berdua. Satu tahun sudah rutinitas itu mereka jalani berdua dengan perasaan adem ayem dan bahagia. Sepekan dua kali mereka bersepeda bersama. Tepatnya Selasa dan Sabtu Eren Verales mengendarai sepeda menuju sekolahnya. Bersepeda ria dalam perjalanan bersama siswa dari sekolah lain, seolah terkesan membawa secercah kebersahajaan dan kebersamaan. Bahkan bersepeda membuat raga mereka menjadi sehat. Udara menjadi bersih dari polusi gas buang knalpot kendaraan mereka. Selain julukan bagi Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, Kota Gudeg, Kota Budaya dan masih banyak julukan-julukan yang lain yang pantas disandangnya, kini julukan itu bertambah lagi, yaitu Yogyakarta sebagai Kota Sejuta Sepeda dan Kota Bebas Polusi. Akhirnya Yogyakarta juga berhak menyandang gelar Kota Seribu Predikat, karena julukan-julukan itu.
Begitu terasa cepat waktu bergulir. Dua bulan lagi Ebtanas segera diselenggarakan, serentak di seluruh Indonesia, baik di Madrasah maupun di SMA. Beberapa mata pelajaran yang akan diujikan dalam Ebtanas harus mereka persiapkan matang-matang, agar angka-angka hasil ujian itu tetap terjaga, bahkan berharap bisa maksimal. Nilai baik memang kudu. Namun bagi Faiq El-Farisy nilai bukanlah hal yang menjadi prioritasnya. Kalau hanya persoalan nilai yang akan diraih, tentu gampang untuk meraihnya. Banyak yang berpredikat juara, namun hal memperoleh predikat juara itu mereka culas alias curang. Mereka memperolehnya dengan cara yang tidak halal, dengan cara mencontek atau menyalin dari buku yang telah diringkasnya menjadi gulungan kertas kecil yang penuh dengan jawaban-jawaban dari soal-soal yang akan dilontarkan dalam ujian akhir itu. Bagi Faiq El-Farisy, dirinya harus bisa mendapat nilai baik, namun dengan cara yang baik pula. Jika tak membuahkan hasil toh ia sudah mengusahakannya dengan semaksimal mungkin dan sepenuh hati untuk meraih predikat halalan thoyyiban. Dia tak mau culas seperti yang lain. Sebab jika dirinya kelak menjadi seorang pejabat, ia takut mencurangi Negara dengan mengakali angka-angka yang bakal mereka setting untuk mengelabui para auditor, sehingga hasil tipuannya yang disebut korupsi itu menjadi mulus, lalu rugilah Negara dengan tanpa harus ada yang mempertanggungjawabkannya. Nanti saat ditanya oleh para anggota Pansus DPR,. jawaban mereka akan mereka buat mencla-mencle, plinthat-plinthut dan dibuat semengambang mungkin, dibuat menjadi abu-abu, supaya para Pansus dan rakyat pada bingung menterjemahkan maknanya. Na’udzubillah. Ampuni aku ya Rabb.
Akhir-akhir ini Eren Verales telah jarang belajar bersama dengan para sahabatnya. Kini Gadis Ayu itu lebih sering belajar bersama di GTR di Dusun Gedangan yang sejuk dan damai. Faiq El-Farisy sebagai pemuda idamannya itu, juga memberikan andil yang sangat besar pada kemajuan dirinya dalam memahami hampir seluruh materi pelajaran-pelajaran yang telah diajarkan baik di madrasah maupun di Padmanaba tempat mereka menimba ilmu. Pemahaman yang telah Faiq El-Farisy berikan terasa lebih mudah dicerna, mungkin karena belajar mereka mendapat sentuhan-sentuhan cinta, sehingga sugesti itu dapat memberikan rangsangan di otak untuk bisa bekerja lebih konsen dan maksimal.
Pagi ini Eren Verales sengaja meminta kepada Pak Sukir untuk mengantar sampai perempatan jalan saja. Pak Sukir juga sudah paham atas permintaan Den Ayunya ~Eren Verales~ itu. Seandainya saja Den Ayunya itu adalah putrinya, sungguh ia akan merestui hubungan dua sejoli itu. Pak Sukir berasumsi bahwa Mas Faiq El-Farisy adalah satu-satunya pemuda yang bisa menjadi tumpuan jiwa Den Ayunya. Karena menurut Pak Sukir, Mas Faiq El-Farisy itu adalah orang yang baik, sabar, ulet, tekun, rajin, pintar, cerdas dan bertanggungjawab serta sangat religius. Bahkan ia juga sangat berharap bila Den Ayunya akan bisa bersanding di pelaminan bersama Mas Faiq El-Farisy kelak di kemudian hari. Karena menurut Sang Sopir kesayangan itu, bahwa Mas Faiq El-Farisy bisa menjadi malaikat pendamping bagi Den Ayunya . Masya Allah.
Pak Sukir sebenarnya tahu, jika Den Ayunya itu akan segera di pertunangkan dengan Anton putra sulung Pak Surya yang seorang anggota DPR tetangga di komplek perumahan elit itu, yang kini tengah kuliah di Luar Negeri. Dia sempat mendengar percakapan Ndoro Kakung dan Ndoro Putri, yang tak lain adalah Om Danu dan Tante Vera. Bukan sengaja Pak Sukir menguping percakapan itu, namun terlebih ia tak sengaja mendengarkan perbincangan mereka yang terdengar jelas dari jarak yang agak jauh, namun dapat dipahaminya. Pak Sukir tidak mau membuka rahasia itu, baik kepada Mas Faiq El-Farisy ataupun kepada Den Ayu Eren Verales. Ia tak rela gara-gara keceplosan mulutnya, sehingga membuat hubungan dua sejoli yang lagi adem ayemnya dan bahagia-bahagianya itu akan berubah menjadi runyam berantakan. Pak Sukir tak mau hal itu terjadi. Ia sangat menghormati sekaligus menyayangi Den Ayunya itu, seakan Den Ayunya adalah bak putri kandung sendiri. Seandainya saja ia selevel dengan keluarga Den Ayunya itu, pasti dirinya sudah melamar Den Ayunya itu untuk dijadikan sang menantu tercinta.
“Sungguh betapa beruntungnya Mas Faiq itu…” Ucap Pak Sukir tiba-tiba saat mengantar Den Ayunya menuju Padmanaba.
“Kenapa, Pak Sukir…?”
“Ah,…ndak kok, Mbak Eren.” Pak Sukir menjawab pertanyaan Eren dengan gelagepan.
“Lha itu tadi? Pak Sukir bilang kalo Mas Faiq beruntung? Beruntung bagaimana to…?” cecar Eren Verales.
“Anu...Mbak. A…anu….” Pak Sukir tergagap dan ragu.
“Anu kenapa? Jelasin aja! Eren jadi penasaran nih…!” Rengek Eren Verales. Manja.
“Anu…, Mas Faiq itu beruntung kalo bisa jadian sama Mbak Eren, gitu…!”
“Pak Sukir ini bisa aja…! Hik…hik…hiks…” Eren Verales terkikik.
“Tapi….”
“Tapi apa lagi, Pak Sukir?”
“Tapi…, Mbak Eren juga sangat beruntung bisa mendapatkan seorang pemuda yang sempurna seperti Mas Faiq, lho…. Sebab Mas Faiq El-Farisy itu adalah orang yang sangat kalem, baik, sabar, ulet, tekun, rajin, pintar, cerdas dan bertanggungjawab serta sangat religius.” Puji pak Sukir kemudian.
“Ah…, lebay kali…! Hik…hik…hik…” Eren Verales terkikik lagi terasa tersanjung.
“Ini benar lho, Mbak Eren. Kenyataan…, gitu! Kok malah dibilang lebah to…?” Pak Sukir linglung benar-benar tak paham.
“Bukan lebah…, tapi lebay. Pujian pak Sukir itu sangat berlebihan gitu…!”
“O…” Pak Sukir memoncongkan bibirnya tanda paham, sambil tetap konsentrasi pada gagang setirnya. “Tapi…, ucapan saya tadi ndak berlebihan kok. Memang kenyataannya begitu kok, Den Ayu…” sambung pak Sukir tetap tak mau dikoreksi jika ucapannya itu memang benar-benar betul atau betul-betul benar.
“Kok Den Ayu lagi to, Pak Sukir ki! Mbak Eren gitu…” Eren Verales meralat sebutan Pak Sukir atas dirinya.
“Injih…, nuwun sewu Mbak Eren…, Kawulo kesupen…”
“Ya udah, ndak apa-apa…..”
Pak Sukir terus melajukan mobilnya. Sambil pikirannya terus menganalisa kisah kasih dua sejoli itu.
“Sampai di ini saja Pak Sukir. Saya menunggu Mas Faiq di pojok situ. Nanti pulang sekolah Pak Sukir jemput saya di sini juga.” Pinta Eren Verales sambil menunjuk sebuah pojok perempatan jalanan dekat dengan lampu merah. Di tengah perempatan jalan itu terlihat tampilan sebuah taman kota yang indah dan asri. Pak Sukir tahu maksud dan tujuan Den Ayunya. Hanya ingin punya waktu lebih untuk bisa selalu bersama dengan kekasih hatinya, Mas Faiq El-Farisy.
“Injih, Mbak Eren. Sendiko dawuh. ” Balasan hormat dari Pak Sukir terhadap Den Ayunya. Kemudian menurunkan Den Ayunya dari Marcedes Band hitam kilap itu. Den Ayunya mengerdipkan matanya kepada dirinya sebagai kode untuk segera melajukan mobilnya dan meninggalkannya di perempatan jalan itu sendirian. Pak Sukir mematuhi, dengan menekan pedal gas secara perlahan. Kemudian meninggalkan Den Ayunya ~Eren Verales~ sendirian di perempatan jalan dekat lampu merah itu.
Setelah menunggu beberapa menit di perempatan jalan tempat biasa bertemu, akhirnya sang pemuda pujaan yang ia tunggu itupun muncul bersama sepeda bukarnya yang dua tahun lebih itu telah setia menemaninya. Pemuda itu sempat kaget ketika melihat Gadis Ayunya berdiri mematung di pojok perempatan jalan itu tanpa sepeda seperti biasanya. Tapi keterheranannya itu tak ia perlihatkan pada Gadis Ayunya dengan langsung menyapanya.
“Lhoh, kok manyun begitu?”
“Aku dilarang naik sepeda oleh Papa. Jadi dianterin sama Pak Sukir tadi.”
“Kasihan….! Ya Sudah, naik saja. Tapi aku ndak bertanggungjawab lho…, kalo kamu kena tetanus nantinya. He..he…he.” Faiq El-Farisy mempersilahkan Gadis Ayunya untuk duduk di boncengan sepeda bukarnya dibarengi dengan canda. Gadis Ayupun tersenyum tersipu atas candaan sang pemuda idaman, lalu nemplok di boncengan. Meski terasa keras besi bocengan itu menekan pinggulnya, namun terasa empuk di batinnya. Duh! “Bismillahirrahmanirrahim” Sepeda bukarpun berjalan kembali perlahan.
“Kapan kamu insyaf mencandain aku to, Mas?” Protes Gadis Ayu.
“Ya kalo kamu bukan milikku lagi.”
“Kamu itu makin hari makin berani aja berterus terang. Cupu kamu sudah berkurang drastis. Hik…hik…hik.” Gadis Ayu terkikik, “memangnya aku sekarang milikmu?” sambungnya ngetes.
“Bisa ya…, bisa belum….!” Sekenanya saja sang pemuda menjawab.
“Maksud kamu?”
“Karena aku…” tercekat tenggorokannya untuk mengucapkan sebuah kalimat : “Karena aku sangat menyayangimu…!” teriak batin sang pemuda.
“Karena apa, hayo…!” Cecar sang Gadis Ayu penasaran.
“Karena belum ada ikatan. Belum resmi gitu.”
“Jadi kapan resminya?”
“Ya kalo sudah sarjana. Sudah bekerja.”
“Memangnya akan bisa jadi sarjana?”
“Mudah-mudahan saja.”
“Sekarang kan sudah bekerja….!”
“Kerja apaan?”
“Distribusi Koran dan dagang bakso?”
“Kamu itu hobinya menghina aku.”
“Ah! Gitu aja ngambek.”
“Aku nggak ngambek. Tapi aku justru sangat berbangga hati mendapat hinaan dari kamu. He….he…he.” seloroh sang pemuda tanpa sakit hati sedikitpun, melainkan hati itu malah menjadi berbunga-bunga.
Sungguh hadir perasaan berbeda ketika berjalan berdua dengan sang kekasih pujaan. Seolah bagai bertabur bahagia dengan bermandikan cinta. Kendati suasana padat riuh gempita, namun dunia ini seakan milik mereka berdua. Merekapun bercanda di perjalanan, diantara para pengguna jalan lainnya. Gelak-tawapun mewarnai di sepanjang perjalanan menuju sekolah mereka. Saling mencibir, saling mengejek, tapi sungguh perasaan bagai terbang di awang berdua saja. Sejoli merpati putih SMA pun menikmati masa bahagia di pagi hari yang cerah, secerah hati mereka berdua. Sementara para pengguna jalan lainnya, yang turut andil menimbulkan suara gegap gempita itupun hanya bisa menyaksikan dua sejoli itu bercanda bahagia. Marjikun yang sedari tadi berada agak jauh sambil mengawasi dari arah belakang mereka, hanya bisa cemburu melihat dua sejoli itu tampak mesra berboncengan di atas sepeda bukar mereka. Marjikun perlahan saja mengayuh konstan sepedanya untuk menjaga jarak dari dua sejoli itu. Dia hanya bisa manggut-manggut heran dan sesekali menelan ludahnya. Pingin seperti mereka berdua. Ternyata cinta Eren Verales terhadap Faiq El-Farisy bukan isapan jempol belaka. Bukan karena Ge-Ernya Faiq El-Farisy. Tapi ini nyata di matanya.
Akhirnya Faiq El-Farisypun menurunkan Eren Verales di pintu gerbang Padmanaba, setelah membuat kesepakatan untuk bisa berdua lagi saat sepulang sekolah nanti. Dan kesepakatan untuk bisa terhindar dari kesaksian para sahabat-sahabatnya.
“Assalamu’alaikum!” Uluk salam sang Gadis Ayu
“Wa’alaikum salam!” Balas sang pemuda menguntapkan.
Eren Verales pun bergegas memasuki pekarangan sekolah. Ia berlalu tanpa mencium punggung telapak tangan sang pemuda seperti biasa, sebab ia tak mau dilihat apalagi kepergok oleh dua sahabatnya, Yedna dan Ghevana. Yang jelas ia tak ingin malu bahkan dipermalukan. Dirinya belum siap digojlok oleh para sahabat tentang jalinan cintanya dengan pemuda idaman hatinya itu.
Sepeninggal Eren Verales, Faiq El-Farisy pun melanjutkan perjalanannya menuju madrasah yang sisa satu setengah kilometer itu. Namun baru beberapa meter sepeda bukarnya melaju, dia dikagetkan oleh suara Marjikun yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya.
“Hayo…, Ustadz Faiq dilarang berpacaran….! Nanti saya lapor sama Om Danu lho? Atau akan kulapor saja sama Mbah Sastro, supaya tidak boleh mengutang mendoan lagi! Ha…ha…ha..!” Suara selengekan Marjikun disertai bahak tawa betul-betul mengagetkan Faiq. Seperti kucing sedang kepergok mencuri ikan di dapur. Faiq El-Farisy sedikit jengah dibuatnya.
“Hus…! Kamu itu kalo cemburu mbok ya jangan ngancam gitu dong…! Jangan main lapor saja! Bersaing…, ya bersaing….! Tapi yang sportif…, getooohhh!” Balas Faiq El-Farisy berusaha santai dengan wajah yang dia perlihatkan tampak biasa-biasa saja. Ia tak ingin perubahan mimik malu di raut wajahnya itu dilihat oleh Marjikun, apalagi mendapat penilaiannya.
Gengsi dong!
Marjikun hanya bisa geleng-geleng kepala sambil masih terbahak. Dia tak habis pikir, Eren Verales bisa lengket kayak perangko sama Faiq El-Farisy, yang dia anggap sebagai seorang pria yang tak punya prospek itu. ***