Merintihlah dalam Tahajjudmu

Novel Pop Religi Pembangun Motivasi, Salam Silaturrohim......

Minggu, 31 Januari 2010

Merintihlah dalam Tahajjudmu "Bagian 8"

8. Jamuan Istimewa Sang Kiyai

Faiq tidak tahu peristiwa heboh di perumahan elit itu sepeninggalnya tadi siang. Yang ia pikir kini, bagaimana bisa menemukan kediaman Mbokde Sur, teman sebangku selama perjalanan di kereta. Mudah-mudahan sambutan keluarga Mbokde Sur akan lebih baik. Dia tak ingin dirinya terlunta-lunta seperti sekarang ini. Apalagi terjaring operasi yustisi karena dicap sebagai pendatang haram di kota ini, jika ia menggelandang seperti ini. Dia tak ingin.
Jarum pendek telah menunjuk ke angka sembilan malam. Dia masih tercenung di salah satu pojok perempatan jalan sebelah barat daya kota ini. Hiruk pikuk kendaraan sudah mulai menyepi. Tinggal satu dua kendaraan yang melintas di sana. Di sebelah sudut perempatan yang lain anak-anak muda sebayanya sementara bermain musik melepas segala kegundahaan. Tiga orang memainkan gitar. Satu main di Bass, satu main di ritem, dan satu lagi main di melodi. Ada yang menabuh ember sebagai pengganti gendang. Kemudian yang tidak bisa bermain musik maupun bernyanyi, merekapun tak mau kalah memberikan andil dengan memukul-mukul bambu atau hanya sekedar menepuk-nepuk telapak tangan. Sekedar memberi arti sebuah pertemanan. Bermacam lagu mereka nyanyikan. Dari lagu nostalgia sampai volume terbaru. Dari pop sampai dangdut, bahkan keroncong atau langgam jawa, campur sari. Dari lagu ciptaan Jakco sampai ciptaan Mbah Surip Almarhum.
Di pojok yang lain juga lagi disibukkan oleh transaksi pedagang gorengan yang tengah melayani para pembelinya. Ada beberapa pedagang gorengan mangkal di sana. Dan semuanya laris. Namun gerimis terus mengalir membasahi seluruh permukaan bumi. Perut pun mulai bernyanyi seirama alunan lagu-lagu yang didendangkan anak-anak muda sebaya di seberang sana. Seakan tak hendak usai. Gerimis terus merintik. Dinginpun mulai menggigit. Faiq pun perlahan melepaskan tas ransel sekolahnya yang masih tersandang di punggungnya, menyiapkan sebuah jaket kumal untuk sekedar menutupi tubuhnya yang dingin oleh terpaan angin malam bercampur basah rintik gerimis.
Lambung itu berkeruyuk sekali lagi minta di isi. Sebab dari pagi memang belum terisi nasi. Meskipun tadi siang sempat dia isi dengan beberapa potong singkong goreng di penjual pinggir jalan, namun itu hanya menambah rasa mulas di lambungnya.
Persediaan bekal sangu tinggal beberapa rupiah saja. Dia takut, jika dia pergunakan untuk membeli nasi, takut habis sebelum menemukan alamat Mbokde Sur. Tapi kebutuhan pokokpun juga tidak boleh diabaikan begitu saja. Bisa-bisa penyakit yang datang menderanya. Kemudiaan ia pun segera bangkit dari lamunnanya. Matanya menyorot ke arah penjual gorengan sekedar mencari pengganjal perutnya agar cacing sang penghuni tidak meronta-ronta minta jatah. Namun secara kebetulan saja di antara beberapa pedagang gorengan itu ada seorang ibu tengah menggelar dagangan lesehannya dengan diterangi beberapa lampu teplok. Dua keranjang tenggok berukuran sedang menyangga dua tampah, alat penapis beras, terpajang di depan tempat ibu penjual itu duduk bersimpuh. Kedua tampah berdiameter enampuluh centimeter itu berisi segala macam lauk pauk dan sayuran. Ada sayur lodeh, pecal, lele goreng, tempe dan tahu bacam, mendoan, rempeyek udang dan sambal goreng ampela-ati ayam.
Langkahnya terhenti ketika sampai ke tempat ibu penjual nasi dan lauk pauk itu. Wajah ibu itu selintas mirip Mbokde Sur. Dia cermati secara seksama wajah yang samar di balik temaram lampu teplok itu juga gadis yang duduk disampingnya menemani ibu itu berjualan. Ternyata memang bukan. Untuk menghilangkan rasa kecewa di hatinya sekaligus menghilangkan rasa laparnya yang sudah melilit semenjak sore tadi, ia pun segera memesan nasi, sayur lodeh, mendoan berikut rempeyek udang. Dan segelas teh hangat. Lalu, segera bergabung dengan beberapa pelanggan yang sudah duduk lesehan di bibir trotoar yang dialasi tikar pandan sambil menikmati hidangan sederhana itu dengan lahapnya. Suapan demi suapan terasa nikmatnya lebih. Sambil mendengarkan musik anak muda di pojok seberang jalan yang menemani sampai pagi.
Usai menerima pengembalian uang sisa pembayaran, ia pun berlalu meneruskan perjalanan mencari tempat menginap. Di mana saja, yang penting bisa mengistirahatkan tubuhnya yang letih malam ini, setelah seharian penuh menempuh perjalanan yang cukup jauh. Hampir enam belas kilometer jarak perjalanan yang dia tempuh hari ini, dengan berjalan kaki.
Beberapa langgar dan masjid telah dia lewati. Tampak kosong dan gelap. Tidak seorangpun terlihat. Dan beberapa pos ronda pun tampak lengang di sana, meski lampu terlihat meneranginya. Namun akhirnya dia berniat istirahat di salah satu pos ronda itu malam ini. Dia sudah sangat letih berjalan kaki beratus-ratus meter, meninggalkan tempat ia makan, meninggalkan alunan musik jalanan kelompok pemuda di perempatan jalan tadi. Dan kini kantukpun telah menyerang matanya secara seporadis dan bertubi-tubi. Sesekali dia menekap mulutnya ketika menguap. Dan benar saja tubuhnya yang sedikit kering kini telah membujur di lantai pos ronda yang terbuat dari suunan kayu Albasiah itu. Angannya telah terbawa arus mimpi yang indah bersama gadis ayu yang tengah digandrunginya kini.***
~oOo~
Malam semakin larut. Gerimis tak kunjung usai. Suasana dingin yang menyengat itu telah membangunkannya dari segala mimpi indahnya. Jaket kumal yang membalut tubuh kurusnya tak mempan melindungi rasa dingin yang menyengat sampai ke pori-pori. Gerimis masih merintik tepat jam tiga dini hari ini. Di pos ronda itu tak lagi lengang. Ada beberapa orang petugas ronda lagi asyik bermain kartu. Sengaja tak membangunkannya. Mereka tahu jika dirinya bukan orang jahat atau gelandanagan, meskipun benar menggelandang saat ini. Itu terlihat dari pakaiannya, meski sedikit kumal tapi tak menyebabkan interpretasi para peronda itu miring terhadap dirinya. Mungkin orang jauh yang sedang cari alamat tapi kemalaman dan kelelahan. Padahal seandainya tadi mau kembali ke tempat Pak Sholichin, pasti beliau mau menerimanya dengan senang hati dan ia bisa bermalam di sana. Dan tidak terlunta-lunta menggelandang tidur di pos ronda kayak gini. Tapi itu tak mungkin dia lakukan, karena baru beberapa hari saja dia tinggalkan tempat menginapnya itu. Dan peristiwa itu belum tersingkirkan dari benaknya. Dia takut membuat masalah di sana. Dia tak ingin membuat susah lelaki tua yang telah menolongnya itu.
Setelah ia melekkan sedikit matanya dan ia usap-usap kelopaknya hanya sekedar untuk melihat siapa petugas ronda itu. Dan ….ternyata ada enam orang. Yang empat orang anak muda tengah asyik bermain kartu domino seakan tidak mau terusik. Dan yang dua orang sedang asyik mengobrol. Entah apa yang tengah mereka perbincangkan. Dari mulut mereka sesekali mengepulkan asap rokok yang melambung ke udara bebas nan dingin. Entah apa topik yang mereka bahas dini hari ini.
Faiq El-Farisy bangkit dari pembaringan. Penat di sekujur tubuhnya terasa telah terobati. Sambil mengulurkan tangan, dia menyapa kedua orang yang lagi mengobrol dan tidak ikut main kartu itu dengan meminta ma’af tidak izin menggunakan pos ronda itu. Mereka pun menyambut baik setelah ia ceritakan maksud dan tujuannya sehingga nyasar sampai kampung ini.
“O… jadi Nak Faiq ini sedang mencari alamat tho…?!” Tanya bapak yang berkalung sarung warna kotak-kotak coklat biru tua memakai peci di kepalanya. Pak Kerto. Usianya hampir enampuluh tahun. Rambutnya mulai memutih. Tampak lebih tua dari usia sebenarnya.
“Iya pak, tapi catatan alamat itu kecuci. Lagian…., saya juga tidak ingat nama kampung itu!” Jelasnya pda bapak-bapak petugas pos ronda.
“Iya…ya? sulit mencarinya kalo gitu!” sambung Pak Tugiman, orang yang satunya lagi, usianya lebih muda lima tahunan.
“Coba diingat-ingat kembali, Dik. Siapa tahu ada yang bisa mengantar adik ke sana.” Salah satu dari orang yang main kartu nimbrung sambil asyik menimbang-nimbang kartu mana yang harus ia turunkan dan kartu mana yang tetap ia simpan untuk mengunci mati permainan itu. Tanpa menoleh sedikitpun ke arah yang dia ajak bicara. Konsentrasi penuh pada kartunya.
Sudah dicoba memutar balik otaknya tapi sulit mengingatnya. Kampung apa namanya. Yang jelas terletak di sebelah selatan kota Yogya, itu saja yang diingatnya. Tapi sudah cukup memberi gambaran bahwa suatu saat kampung itu pasti segera akan diketemukan.
“Bukan Bantul, dik?!” tanya yang lain.
“Ya…ya… betul, pak…!” tiba-tiba dia mengingatnya. Semangatnya kembali menyeruak.
“Kalau Bantul masih jauh dari sini,….” Gumam pak Kerto sambil melepas asap nikotinnya membumbung bebas ke udara. “Yo, pironan yo, To…?!” sambungnya. Pertanyaan itu ditujukan kepada pemain kartu yang namanya mas Darto, usianya nyaris tiga puluhan tahun.
“Sekitar limabelasan kilo dari sini, De!” jawab Darto tanpa menoleh sedikitpun. (De: berasal dari kata Pak Gede atau Pakde atau Om) masih serius menekuni kartunya.
Faiq tidak tahu kalau Bantul itu adalah Kabupaten yang sangat luas. Dan ironisnya lagi nama ibukotanya juga Bantul, jadi semakin membuatnya bertambah bingung. Mata pelajaran IPS tidak pernah membahas Kabupaten Bantul sewaktu di Jakarta dulu. Palingan Kabupaten seputar Jakarta saja.
“Makanya…lu apalin dulu di otak lu itu alamat, baru…dicuci. Atau otak lu saja yang dicuci?! Ha…ha…ha!” Dia teringat kalimat bernada canda sahabatnya si Anton. Memang benar sih, seandainya saja dia langsung taruh di dompetnya pasti tidak akan sesusah ini jadinya. Barangkali sudah ketemu ketika ia cari bersama Anton kemarin. Hingga kejadian di rumah elit itu bisa terhindarkan, dan tak menambah ruwet hubungan dia dengan mama Anton, Bu Ratna. Dan juga, hanya untuk cari alamat saja sudah bikin makin tambah panjang episodenya.
“Katanya ndak nyampek lima kilometer dari kota Yogya…..” jelas Faiq kemudian sambil menekap mulutnya dengan tangan kanannya. Menguap.
“O…. bukan kota Bantul, to…?!” kalimat itu keluar dari mulut Pak Kerto, masih dipenuhi asap rokok. “Kalo daerah Kabupaten Bantul…., di sini sudah perbatasan antara kota Yogya dan Kabupten Bantul.” Sambungnya menjelaskan.
“Selatan kota Yogya, begitu!” jelas Faiq
“Wah…., selatan Yogya kan panjang juga…..!” gumam Pak Tugiman, lalu… “Lha daerah timur atau sebelah barat ?!” sambungnya bertanya.
“Saya juga kurang tahu, Pakde.” Faiq berusaha akrab.
“Wealah…..kalo gitu ya susah betul mencarinya!” lanjut Pak Tugiman sembari mengepulkan asap rokoknya.“Seandainya besok ndak ada urusan penting, saya bisa antar pake motor.” Sambungnya lagi rada menyesal, lalu kepada anak-anak muda yang lagi main kartu, “Lha kamu, To?” Ditujukan kepada Darto.
“Besok ada urusan di Wates, je!” Jawab Darto sambil konsentrasinya masih di kartunya.
“Lha….kamu, Tin?” ditujukan pada anak muda yang satunya. Mas Sangatin.
“Kebetulan ada hajatan keluarga di Pakem, De!” Balas Sangatin sambil memberi kode pada dua temannya yang tidak disebut, “Kamu!?”
“Aku ndak bisa,…De! mau ke Magelang…., dua hari!” jawab yang ditunjuk.
“Aku juga mau ke Sragen…., tiga hari!” jawab anak muda yang satunya lagi.
Pak Tugiman akhirnya menarik nafas panjang yang kemudian ia hembuskan kembali, lalu menyedot batang rokoknya, baru kemudian, “Wah…kalo gitu, kami minta ma’af,…. Ndak bisa ngantar…!” kalimat itu keluar dari mulut Pak Tugiman bersama kepulan asap rokoknya dengan nada rada menyesal.
“Ya ndak apa-apa, Pakde…! Saya sudah sangat berterima kasih atas kerelaan Pakde dan Mas-Mas bisa menerima saya bermalam di sini.”
Gerimis masih mengucur perlahan dari langit. Bintang gemintang tak menampakkan jati dirinya. Hanya laron-laron kecil berterbangan mengitari lampu-lampu neon yang gemilang bercahaya. Mereka keluar dari sarangnya karena terusik oleh hawa dingin, berhasrat menghangatkan diri pada lampu-lampu itu. Laron-laron itu semakin asyik bercengkerama dibawah cahaya panas lampu-lampu neon…satu-satu berjatuhan.
Faiqpun seketika berpamitan hendak buang hajat kecilnya yang sudah ia tahan sejak tadi. Sebenarnya ada kamar kecil di sebuah masjid yang berjarak lima puluh meter di sebelah barat pos ronda, tapi jam begini pintu pagar masjid masih terkunci. Lalu, Pakde Kerto menunjukkan sebuah surau kecil berdinding gedek terbuat dari bambu yang dianyam, berdiri kokoh di pinggiran sawah, dua ratus meter ke selatan dari pos ronda. Jauh dari pemukiman penduduk.***
Sesampai di surau.
Semuanya tampak sederhana, rapi dan bersih. Gelap menyelimuti suasana surau, namun secercah cahaya menerangi samar-samar, yakni, pantulan sinar dari beberapa lampu yang bergelantungan di pinggir jalan di kejauhan. Nampak dari surau itu empat buah bangunan yang terpisah. Bangunan yang satu memanjang ukuran duapulah meter, mirip bangunan madrasah. Dua bangunan yang agak berjauhan letaknya, satu di sebelah madrasah dan yang satu lagi dekat rumah yang memanjang ke belakang. Ada sekat. Mirip asrama putra dan putri. Bertingkat dua. Ada cahaya dari bangunan itu tapi tak begitu terang. Mungkin sudah berpenghuni. Tapi masih tampak senyap. Dan sebuah bangunan yang lain adalah rumah biasa, seperti dua bangunan rumah yang bersusun memanjang kebelakang. Sudah berpenghuni juga. Semua bangunan itu terbuat dari papan. Mirip pesantren kampung yang baru di bangun. Semua serba baru.
Sepeninggal Faiq menuju surau, pos ronda pun kembali lengang. Mereka melaksanakan tugas berkeliling mengitari rumah warga yang tengah dibuai mimpi. Terbagi tiga kelompok. Masing-masing kelompok dua orang. Dan selanjutnya pulang ke rumah masing-masing untuk istirahat.
Setelah buang hajat kecilnya di salah satu kamar kecil yang dibangun berderet memanjang itu, ia pun bergegas mengambil air wudlu untuk menyenandungkan tahajud cinta di surau itu, dini hari ini. Dalam surau itu sebenarnya ada lampu penerang. Tapi tak menyala. Sudah beberapa kali saklar itu dipencetnya, tapi arus listrik tak nampak mengalir. Nol amper. Sedikit gelap. Hanya pantulan sinar lampu yang bergelantungan di pinggir jalanan di kejauhan sana sedikit memberikan cahanya samar-samar. Temaram.
Ada sisa waktu sedikit, karena waktu subuh hampir menyambut.
Benar saja, ketika dalam suasana berdzikir setelah bertahajud, ada seseorang dengan pakaian jubah warna putih lengkap dengan surban di kepala, memasuki surau dengan membawa lampu teplok ditangan kirinya, sementara di tangan kanannya menggegam gagang payung untuk melindungi diri dari terpaan taburan gerimis dini hari. Suasana dalam surau ukuran enam kali delapan itu nampak bertambah terang akibat terpaan sinar lampu teplok yang dibawa bapak berjubah itu, meski tidak benderang sama sekali.
Setelah meletakkan payungnya kemudian mencenthelkan lampu teploknya ke tiang surau, sambil sesekali berdehem, mengenyahkan lendir bakal ingus yang menempel di dinding tenggorokannya, kemudian menuju ruang imam untuk melaksanakan sholat sunat dua roka’at. Entah sholat apa. Yang jelas tak terlalu lama beberapa remaja pun nampak menyusul hadir di surau itu. Kira-kira duapuluh tujuh orang, semua berbaju koko, memakai sarung dan peci hitam atau kopyah putih. Separuh dari mereka juga membawa lampu teplok. Lalu mereka letakkan di lantai bagian pinggir ruangan surau berderet melingkar. Suasana ruangan surau makin nampak lebih terang dan ramai.
Setelah melaksanakan sholat sunat dua roka’at, salah satu dari mereka mengambil posisi berdiri, dengan tangan kirinya bersedekap, dan jari telunjuk tangan kanannya menyumpal di telinga. Kesunyian dini hari yang dingin itu pecah terbelah oleh kumandang adzan Subuh yang sangat merdu dan menggema ke seluruh ruangan surau. Subuh sudah tiba, kokok ayam pun bersahutan turut bertasbih menyambut pagi.
Ba’da sholat, wirid dan berdo’a, bapak yang berjubah dan bertindak sebagai imam itu bersila membelakangi qiblat. Sementara para makmum mengikuti dengan duduk bersila berhadapan dengan bapak yang berjubah. Di depan tempat duduk bersila sudah mereka siapkan bangku penyangga mushab Al-Qur’an. Berbentuk silang. Bisa dibuka dan dilipat, terbuat dari papan kayu. Namun pagi ini yang ada di atas bangku penyangga itu bukan Al-Qur’an, melainkan buku tipis selebar map folio berwarna kekuning-kuningan. Kemudian bapak yang berjubah mulai membuka majelis dengan mengucap………
“Bismillahirrohmanirrohim. Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh” ucap beliau mengawali.
Dan disambut majelis secara serentak, “wa’alaikum salam……!”
“Pagi ini adalah pertemuan yang kedua.” Begitu bapak yang berjubah memulai kalimatnya, “tapi sebelum simak-an kita ini di mulai, mari berdiskusi sejenak untuk evaluasi, demi kemajuan pesantren kita ini,” sambung beliau sembari menarik nafasnya, lalu…“Coba kowe, Rus! Opo usulanmu?” Dengan logat pribumi.
“Injih, Yai…” Yang di tunjuk menyahut sangat hormat, “kalo boleh… masalah penerangan, Pak Kiyai…!” sambungnya mengusulkan.
“Injih, Kiyai…..masalah penerangan…., Kiyai…!” Serentak yang lain menyahut.
“Maksud kalian opo, to….?!” Tanya bapak yang berjubah, yang disebut Kiyai itu belum tahu maksudnya.
“Maksud Machrus itu,….masalah Listrik, Pak Kiyai..” Jelas yang lain.
“O…..ya…ya…ya.” Pak Kiyai sudah mafhum, lalu :”ya, kebetulan biaya untuk itu sudah disiapkan. Lha, kalo gitu siapa yang bisa ngurus?!” sambung beliau minta pendapat.
“Machrus, Kiyai…..Machrus saja…..!” jawab mereka lagi, bersahutan.
“Ya…., kalo gitu yang ngurus listrik saudara Machrus…karo kowe, le… si….si….si,… sopo to iki? Aku lali jenengmu, je!” Kiyai Marzuki mengusap-usap kepalanya yang terbalut oleh surban tebalnya sambil mengingat-ingat…
“Fachri…, Pak Kiyai…?!” serentak yang lain menyebut nama yang dilupa pak kiyainya itu.
“Ya…sampeyan…, Fachri, kamu nanti bersama Machrus mengurus listrik di PLN ranting. Supaya kabel yang tertimpa pohon itu segera diperbaiki, dan tanya berapa biayanya.” Begitu kata Pak Kiyai, sembari telunjuknya mengarah pada santrinya yang bernama Fachri itu. Santri itu pun mengangguk mengiyakan. Pak Kiyai berdehem lagi, mengusir lendir yang melengket di tenggorokannya. Maklum, lagi musim gerimis. Flu mulai menyerbu.
Kemudian sambung Pak Kiyai lagi, “lha, selanjutnya yang jadi prioritas adalah tempat simak-an kita ini…” beliau berhenti sejenak, “kita ndak bisa pakai surau ini selamanya. Sebab, surau ini untuk umum….lha letaknya juga ndak strategis, je. Di pinggir jalan gitu. Terganggu. Dan sempit lagi….Nanti kita bisa bikin di sebelah timur di tanah yang masih kosong itu. Kita bikin yang lebih luas, permanen, dan lebih bagus, gitu. Supaya, mengajinya bisa sumringah, ndak sumpek seperti sekarang ini. Sudah gelap, pengap, empet-empetan…, sumpek lagi. He….he…he…” Keluh Kiyai Marzuki sembari tergelak khas, dibarengi dengan santri-santrinya. Akrab.
Diawali dengan diskusi, simak-an itu tetap berjalan dengan hikmat. Kitab yang di kaji pagi itu tidak begitu tebal. Bahkan sangat tipis. Hanya beberapa halaman saja. Namun untuk mengkajinya dengan metode simak-an itu bisa memerlukan waktu berhari hari. Bahkan berbulan-bulan. Atau bahkan sampai bertahun-tahun bagi Santri yang ngendon. Karena tidak begitu mudah untuk memahami maksud dan makna yang terkandung dalam kitab gundul itu, kalau hanya sekedar mengartikan saja. Apatah lagi memaknai? Untuk membacanya saja sudah terasa begitu sulit, karena tanpa harokat tanpa baris. Orang biasa menyebutnya kitab gundul atau kitab kuning. Kitab gundul, karena tulisan arabnya tidak berharokat alias gundul. Sedangkan disebut kitab kuning, karena warna kitabnya yang kekuning-kuningan akibat usianya yang sudah sangat tua. Meskipun kitab itu sudah banyak cetakan terbarunya tetapi warna kertasnya juga disesuaikan. Meski kertas baru warna tetap kekuning-kuningan.
Kemudian Pak Kiyai Marzuki, orang yang berjubah dan bersorban itu, mulai membacanya, mengulangi pelajaran minggu lalu dari awal dengan bahasa ibu, alias bahasa jawa. Setiap kata dibaca, berikut terjemahnya, kemudian ditirukan oleh para santri. Entahlah, siapa yang mengawali dengan cara metode ini. Tapi metode seperti ini konon sudah digunakan di pesantren-pesantren di Jawa sejak belanda masih menguasai bumi pertiwi dulu. Tetapi masih relevankah jika metode ini tetap dipertahankan sampai saat ini. Tetapi juga, bahwa kenyataannya dengan metode ini, telah menelorkan sekaligus mencetak para kiyai-kiyai serta ulama yang tidak sedikit jumlahnya di belahan tanah Jawa.
“Alkalamu,… utawi, huwa kalam,…….” Pak kiyai menuntun. Kemudian diikuti para sntri.
“Alkalamu,… utawi, huwa kalam,…….” Para santri menirukan secara serentak dan bersemangat.
“iku, allafzhu, lafal…” Pak Kiyai lagi menuntun.
“iku, allafzhu, lafal…” Para santri menirukan lagi, secara serentak dan bersemangat lagi.
“sifate lafal,… almurokabu,… kang den susun-susun opo lafal,……” Pak Kiyai terus menuntun.
“sifate lafal,… almurokabu,… kang den susun-susun opo lafal,……” Para santri tetap menirukan secara serentak dan bersemangat.
“sifate lafal,… almufidu, kang maedahi opo lafal……” Pak Kiyai Marzuki terus menuntun, kemudian diikuti oleh para santrinya. Begitu seterusnya.
Biasanya kalau sudah lancar, mereka belajar membaca sendiri dan disimak oleh pengasuhnya. Pak Kiyai sendiri atau ustadz lain yang dipercayakan. Setelah mahir betul baru diteruskan dengan pendalaman yang lebih tinggi, yakni meng-I’rob. Dan seterusnya….dan seterusnya…..
Sepertinya, Faiq pernah mengkaji kitab itu, waktu kelas dua SMP, pada ustadz Fiqry Al-Jauzy, tapi metodenya sangat lain dan memakai bahasa Indonesia daripada yang baik dari pada yang benar. He….he….he. Namun tidak sampai tuntas. Baru beberapa halaman saja dan belum paham sama sekali. Karena ustadz Fiqri yang wetonan pesantren itu mendapat bea siswa untuk melanjutkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir untuk mendapatkan ilmu yang lebih luas dan mendapatkan pula gelar Lc, di belakang namanya.
Memang kitab ini seharusnya dikaji lebih awal oleh para santri. Karena kitab ini mengkaji tentang tata cara untuk membuat sebuah kalimat dengan bahasa arab secara benar. Bagaimana cara membacanya jika kata kerja di dahului dengan huruf-huruf qosam. Atau huruf untuk bersumpah. Bagaimana huruf yang menasabkan, men-jarkan, men-jazmkan........…..dan seterusnya……….dan seterusnya. Pokoknya rumit deh. Penulis juga ndak paham. Kalau tidak salah, nama kitab gundul itu namanya “Matan Jurumiyah”. Atau apa?!.....aku ndak tahu!
Yang kami tahu, bahwa santri-santri yang mengaji pagi ini adalah santri lepas campuran atau santri kalongan. Periode ini baru dibuka, dengan maksud untuk kemajuan pesantren sendiri. Karena disamping mengaji, santri-santri lepas campuran ini akan dilibatkan juga dalam pengelolaan pesantren. Bahkan sampai menejemennya pun mereka dilibatkan. Mereka ada yang mahasiswa, ada yang masih SMA atau di madrasah atau yang tidak sekolah tapi umurnya sudah dewasa juga boleh masuk program santri lepas ini. Usianya minimal lima belas tahun. Dan di angkatan pertama ini mereka di samping mengkaji kitab Jurumiyah seminggu dua kali. Juga mereka diberi kebebasan memilih untuk mengkaji kitab yang lain. Mereka juga diberi kebebasan dalam hal tempat tinggal atau menginap. Boleh menginap di pesantren atau di luar pesantren. Terserah mereka. Namun meski begitu mereka tetap punya kewajiban seperti mereka yang mondok menetap di dalam pesantren. Hak dan kewajiban mereka tetap sama dengan santri murni. Cuma mereka ini diberi hak tambahan yakni dalam pengelolaan demi kemajuan pesantren.
Pondok pesantren “Ulumul Kutub” ini baru didirikan tiga tahun yang lalu oleh Drs. KH. Marzuki Machfud yang alumni IAIN Suka sekaligus Pondok Pesantren Krapyak asuhan Prof. KH. Ali Ma’sum. Namun santrinya sudah mencapai ratusan. Hampir dua ratus santri.
Meskipun suasananya sangat sederhana namun pengelolaannya sedikit modern. Meskipun modelnya sama saja dengan pesantren Salafiah yang lain, namun para santri juga diajari cara berkebun yang baik dan mengelola peternakan. Persis Pesantren Agrobisnis. Namun untuk peternakan baru dalam taraf perencanaan.***
~oOo~
Gerimis masih enggan berhenti turun dari langit pagi itu. Gelap perlahan berganti dengan terang di pagi hari. Meski mendung sedikit melindungi dari terpaan sinar pagi. Kokok ayam jago makin terdengar jelas bersahutan. Di jalanan sudah mulai disibukkan oleh lalu-lalang kendaraan dan para pejalan kaki yang segera mengawali rutinitasnya masing-masing. Suara tapak kaki kuda yang berladam keprak-keprok menambah spesifikasi suasana pagi di desa pinggiran kota. Sang kusir yang bersahaja mengendalikan dengan sabar demi sekedar mengejar sesuap nasi.
Kajian kitab gundul pagi itu, sementara dipending untuk dilanjutkan tiga hari berikutnya. Para santri pun bubar meninggalkan surau setelah mematikan lampu teploknya dengan cara meniup pada lobang semprongnya disertai perasaan bahagia, karena bertambahnya ilmu pagi ini. Ilmu yang telah ditransfer oleh Kiyai Marzuki dengan perasaan ikhlas dan legowo kepada mereka. Suasana pagi di pesantren itu memang tidak begitu ramai. Asrama itu hanya beberapa saja yang berpenghuni. Karena santri murni sudah seminggu ini melaksanakan liburan selama sebulan. Oleh karena untuk mengisi kevakuman di hari libur, maka ide menerima santri lepas atau santri kalongan itu terpikirkan dan termotivasi. Dan kini sekitar tigapuluhan santri lepas, dan nanti selanjutnya mungkin akan bertambah, karena kesadaran mereka untuk menuntut ilmu-ilmu agama adalah sama pentingnya dengan ilmu-ilmu yang lain. Aduh…. dikotomi lagi.
Sementara santri sudah bubar. Kiyai Marzuki masih tetap di tempatnya. Lalu memanggil seorang anak muda yang masih setia duduk bersila di sudut ruangan surau itu.
“Le…. Cah anyar, po yo?!” tanya Kiyai Marzuki pada pemuda itu.
Yang ditanya tidak tahu apa maksud Kiyai Marzuki. Lalu……
“Anak santri baru, ya..?!” Tanya Kiyai lagi dengan mengubah bahasanya.
“Bukan, Pak Kiyai…”
“Lalu…, apa tujuan Anak ini ….?!”
“Saya sedang cari alamat, Pak Kiyai.”
“O…Anak ini bukan asli sini ya?!”
“Benar, Pak Kiyai….saya dari Jakarta…..”
“O…” Kiyai mafhum namun terheran.
Kiyai Marzuki beranjak dari tempatnya. Lalu menuju pintu surau, mengambil payung dan sandal selanjutnya berlalu dari surau itu tanpa sepatah kata lagi. Sedangkan lampu teplok yang beliau bawa tadi sudah dibawakan pulang oleh salah satu santrinya.
Sementara posisi yang ditinggalkan sudah tidak duduk bersila lagi. Namun ia kini tengah baerbaring-baring melemaskan seluruh persendiannya yang sedikit tegang. Kalau bisa ia pejamkan matanya untuk membalas dendam terhadap begadangnya semalaman bersama peronda. Mulutnya pun mulai mengeluarkan angin yang terpaksa dihembuskan. Berkali-kali ia menguap. Berkali-kali ia menekap mulutnya sambil berucap :”Allah….. Ya Rabby.” Matanyapun tak terasa merem-melek dan….akhirnya… mak-ler….pulas. Hampir tiga jam ia terlelap di surau itu. Tiba-tiba seseorang menggoyang-goyangkan tubuh kurusnya bermaksud menggugahnya. Ia pun terbangun, lalu mengucek-ucek matanya supaya lebih terang penglihatannya. Ternyata salah seorang santri lepasnya Kiyai Marzuki yang turut mengaji kitab kuning di surau ini pagi tadi yang baru saja membangunkannya.
“Dipanggil Pak Kiyai, Mas!” Sapa orang itu. Kebiasaan masyarakat di Yogya untuk menghargai seseorang, tetap menggunakan panggilan dengan sebutan ‘Mas’ meski kepada yang lebih muda. Bahasa lain mengatakan: kakak, abang, daeng, akang, kang, uda, brother dan sebagainya.
“Ada apa, ya..?” Jawab Faiq El-Farisy dengan kalimat tanda tanya.
“Saya juga kurang tahu, je.” Jawab orang itu.
“Oh…..ya, kenalkan, saya Faiq…...Faiq El-Farisy………dari Jakarta.” Faiq memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
“Saya Wardiman, asli Desa Gedangan……” menyambut uluran tangan Faiq. Dan Nah….itu dia….Desa Gedangan. Mbokde Sur tinggal di sana jangan-jangan…tapi anaknya Mbokde Sur tidak ada yang segede gini. Anak Mbokde Sur kan cuma dua, perempuan semua lagi! Yang tua di IKIP dan yang bungsu baru naik kelas enam SD.
“Jadi…Mas Wardiman ini tinggal di Desa Gedangan, to?!”
“Betul, Mas. Tapi….….kenapa……?!” Setengah bingung, tidak mengerti arah pertanyaanya.
“Saya sedang mencari alamat. Dan nama alamat itu ya…Desa Gedangan itu!” Suasana loyo itu kini berubah menjadi sumringah. Wajah belum mandi itu seperti sudah berbilas dengan beberapa galon air.
“Siapa yang dicari Mas Faiq ini…?!” Tanya Wardiman kemudian. Muncul keakraban.
“Rumahnya Mbokde Sur…”
“Oh, ya…. Isterinya pakde Amat yang kusir andong itu, ya?!”
“Persis…”
“Itu tetangga jauh saya…”
“Dari sini berapa kilo lagi.. ..?”
“Cuman tiga kiloan, kok Mas…. … ayo Mas kita ke pak Kiyai dulu. Ntar ba’da Isya’ tak antar pakai sepeda …!”
“Kalo gitu silahkan duluan! Saya dhuha dulu. Nanti saya menyusul!” Pintanya riang sambil menebak-nebak, “Ada masalah apa kok dipanggil Kiyai? Atau mau dikasih kawin sama anak gadisnya, ya? He…he…he.” Begitu yang ada dalam angan-angan ngelanturnya. Selengek-an. Tetapi tak terbendung juga, akhirnya cekikak-cekikik sendiri kayak orang gila….! Edan tenan!
Menurut buku panduan ‘Mencari Berkah Lewat Sholat Dhuha’, sholat bisa dilaksanakan dua roka’at sampai dua belas roka’at. Setelah sholat dhuha enam roka’at, ia pun memenuhi panggilan Kiyai Marzuki.
Dan Kiyai Marzuki menyambutnya dengan sangat familiar. Bincang-bincang pagi pun nampak hangat, sehangat teh berikut onde-onde isi enten-enten kacang hijau yang dihidangkan dan baru setengah jam turun dari penggorengan.
“Nak Faiq ini pernah di pesantren juga, to…?!” Tanya Kiyai Marzuki kemudian dan tiba-tiba.
“Tidak ….tidak pernah Pak Kiyai…., cuma ngaji ala kampung saja. Dan belum juga paham sampai sekarang...” Ungkapnya gelagepan, ngawur, sekenanya dan sekedar basa-basi. Tidak mau terus dikejar tentang ngaji. Apalagi tentang kitab gundul atau kitab kuning itu, wah…, takut tidak bisa menjawab.
Padahal kitab gundul yang dikaji tadi pagi, pernah juga ia pelajari pada ustadz Fiqri A-Jauzy yang sekarang tengah menyelesaikan studinya di Al-Azhar, Kairo. Tapi hal itu tak perlu diungkapkannya pada topik perbincangan pagi ini, Persoalannya nanti tambah melebar dan bisa bikin malu dirinya. Nanti dibilang sok tahu, akhirnya runyam tak karuan. Kaco deh!
“O….” Bibir Kiyai marzuki membuat bundaran, kemudain mengangguk-angguk sambil memainkan jemari kaki sebelah kanan yang tertumpu pada lututnya yang sebelah kiri. Kebiasaan duduk para kiyai. Sembari mengepulkan asap rokok kretek merahnya ke udara. Wow …nikmat. Belum ada fatwa haram. Haramnya rokok kan situasional dan kondisional-kah?
Sejenak dalam keheningan, muncul seorang gadis ayu berjilbab panjang, bibir mungil, hidung macung, bulu mata yang lentik, menyambangi mereka yang tengah berbincang. Kemudian…..
“Nak Faiq, kenalkan… ini putri pertama saya….” Pinta Kiyai Marzuki.
‘Terlambat kawin ini pak Kiyai, masak umur segini, anaknya baru segede gini’ Pikiran ngelanturnya kembali muncul.
Kemudian gadis berjilbab itu menangkupkan kedua telapak tangannya di dadanya sambil sedikit membungkuk kepada Faiq.
“Ninik….Maftuhatunni’mah.” Suara itu sangat lembut. Selembut wajahnya yang anggun. Sedikit malu.
“Faiq….Faiq El-Farisy,” Sedikit dag-dig-dug-der-dor. Faiqpun berdiri dan berbuat persis seperi gadis itu. Membalas. Kemudian duduk kembali.
“Sudah semester tiga di Pertanian Gajah Mada….” Terang pak Kiyai, “hafal qur’an lagi.” Lanjut Pak Kiyai, dengan perasaan bangga. Ninik tamat dari MAN Yogya Satu tahun lalu. Nyambi mengaji di Pesantren Putri Ngrukem. Kini dia sudah menjadi Hafizhoh atau penghafal Alqur’an wanita.
Faiq El-Farisy pun sontak kaget. Karena umur masih SMA-an begini, tidak ditahunya sudah mahasiswi. Kontan dia dibuat menjadi jengah sendiri. Ternyata dirinya tidak ada apa-apanya. Dirinya yang hanya seorang gelandangan yang SMA pun belun tamat pula. Mengaji saja ndak beres-beres…, apalagi menghafal Al-Qur’an…, duh …..sangat jauh! Seperti langit dan bumi. Seperi monyet merindukan sang bintang. Pikirannya sempat ngelantur kemana-mana. Gadis ayu bak bidadari bermata biru, yang selalu hadir dalam mimpinya, yang selalu ia rindukan setiap saat itu pun belum digapainya, oikirannya sudah ngelantur ke anak Pak Kiyai Marzuki. Belum apa-apa sudah berselingkuh. Huh! Dasar iblis…! Akhirnya ditepisnya perasan-perasaan itu.
Kemudian ucap Ninik, gadis berjilbab panjang kepada ayahnya, “Abi…, sudah siap…” Gadis itu mengkode ayahnya dengan kerdipan bola matanya yang lentik. Duh…….malu aku…..!
“Ayo…., Nak Faiq, kita ke dalam dulu,….sarapan pagi sudah siap…!” ajak Kiyai Marzuki sambil bangkit dari tempat duduknya.
Mendengar ajakan sang Kiyai, buyarlah lamunannya. Sedikit terperangah. Hampir saja dibuatnya malu. Untung saja Kiyai Marzuki dan Ninik tidak melihat tingkahnya yang gelagepan kayak orang lagi klelep di kali Bogowonto itu. Lalu, untuk menghilangkan rasa salah tingkahnya, ia pun mengikut saja di belakang Kiyai Marzuki yang tengah melangkahkan kakinya menuju ke ruang tengah untuk sarapan pagi. Dia tak pernah mengira jika akan ada perjamuan istimewa seperti ini. Dua hari yang lalu diusir, sekarang mendapatkan perlakuan yang istimewa dari Pak Kiyai yang baru dikenalnya tadi pagi, apalagi anak gadisnya. Wah…wah…! Hus..! Ngelantur saja tuh pikiran kotor! Dan alamatpun sudah diketemukan. Sungguh rizki yang tak disangka-sangka. Alhamdulillahi robil’alamiin.
Di ruang makan, mereka berdua duduk mengambil posisi berhadapan. Ummi, isteri Kiyai Marzuki muncul dari dapur, sambil membawa semangkok sup panas. Kemudian…
“Silahkan… Nak, jangan sungkan-sungkan, lho….” Begitu sapa Ummi, isteri Kiyai Marzuki, ibu Ninik. (Ummi= Ibu)
Dan tanpa basa-basi lagi, dan tanpa sungkan atau rasa segan, hidangan sarapan pagi itu pun segera lumer masuk kedalam kerongkongan dan sari patinya langsung terdistribusi ke seluruh ruang sel di dalam sekujur raga sesuai yang dibutuhkan masing-masing.
Seusai sarapan pagi dengan menu ayam kampung yang diolah menjadi berbagai masakan, mereka pun kembali ke ruang tamu. Tak lama Wardiman muncul di pintu ruang tamu rumah panjang itu, mengendap-endap sambil membungkuk penuh hormat pada Kiyai Marzuki, sang guru terhormat.
“Ada apa, War..?!” Tanya Kiyai Marzuki.
“Anu…Pak Kiyai…, e…sebentar, ba’da Isya saya minta pamit pada Pak Kiyai untuk mengantar Mas Faiq ke kampung saya.”
“Jadi …., Nak Faiq!”
“Ya… Pak Kiyai…..! Saya mohon ma’af, saya harus meneruskan perjalanan saya. Insya Alloh….. nanti saya akan menimba ilmu di sini.” Jelas Faiq memotong, dengan perasaan sungkan. Sementara, Ninik yang nguping sejak tadi dari ruang dalam, menyambut gembira karena Mas Faiq akan nyantri di sini. ‘Mas atau Dik?’ wong lebih muda tiga tahun kok. Usia memang tak bisa menjadi ukuran orang untuk jatuh cinta.
“Ya…ya...ya…, boleh…boleh…boleh….” Sambut Kiyai mengijinkan, sembari membuang abu rokoknya ke dalam asbak.
“Mas Faiq, silahkan mandi dulu. Kebetulan air ledeng sudah jalan….!” Begitu pinta Wardiman memberi tahu. Faiq jadi malu sendiri; sudah sarapan kok belum mandi.
Memang air ledeng sering ngadat. Kadang ngucur, kadang mampet. Ya..itu sudah menjadi hal kebiasaan yang salah kaprah di mana-mana, di seluruh pelosok negeri tercinta ini. Akhirnya mereka minta undur diri pada Pak Kiyai***
Badan terasa bugar kembali. Perasaanpun terasa bahagia. Apalagi setelah berkeliling kampus Pesantren ‘Ulumul Kutub’ bersama Mbak Ninik. Melihat-lihat suasana pesantren sekaligus pemandangan yang asri. Kemudian berkeliling ke bakal lahan kebun agrobisnis yang luasnya kurang lebih dua hektoare itu ditemani oleh Wardiman dan Dzofir. Mereka berempat berbincang nampak seru sekali.

~oooOhdrOooo~

2 komentar: