3. PERTEMUAN MENDEBARKAN DI MAN YOGYAKARTA I
Pagi itu Faiq El-Farisy terbangun agak kesiangan. Sholat subuhnya saja jam setengah enam lewat. Maklum kelelahan. Dia batal diantar oleh Bowo, karena Bowo mendapat telepon dari mamanya di Ngawi, Jawa Timur, kampung halamannya, yang memberi kabar tentang sakit neneknya yang semakin parah. Usianya juga sudah hampir delapan lima tahun. Sudah udzur. Pagi ini Bowo harus segera berangkat ke Ngawi.
Faiq El-Farisy akhirnya sendirian berangkat menuju kampus MAN Yogyakarta I yang berdiri megah di pojok Sekip itu dengan menggunakan bus kota setelah diberi petunjuk oleh Bowo. Dulu anak MAN Yogyakarta I biasa menyebutnya SGM, Sekolah selatan Gajah Mada. Karena gedung fakultas Mipa Gajah Mada itu terletak persis di sebelah utara madrasah. Bahkan satu lokasi dengan fakultas Sospol Gama hanya tersekat oleh tembok setinggi satu setengah meter saja.
Bangunan tua berlantai dua itu masih tampak megah dan kokoh. Sebelumnya bangunan ini adalah milik Pendidikan Hakim Islam Negeri yang alumninya hampir seratus prosen masuk di Fakultas Hukum Gama. Kalau tidak salah, Pak Mahfud MD sang Ketua MK yang mantan Menhan itu adalah alumnus dari PHIN itu. Tapi beberapa tahun ini sekolah itu telah dilebur menjadi Madrasah Aliah Negeri Yogyakarta I dengan tiga jurusan, IPA, IPS dan PA (Peradilan Agama). Yang konon awal tahun delapan puluhan pernah menjadi Madrasah teladan se Indonesia. Dan berjibun prestasi yang telah diraihnya kini. Wallohu a’lam bishowab. Juga bahkan sering banyak orang mengira bahwa bangunan ini milik Gama, karena sering mengecoh orang yang hendak masuk kampus Gama, justru masuk ke kampus Madaline Yosa ya kampus MAN Yogyakarta I itu.
Bus kota berhenti tepat di halte depan MAN Yogyakarta I jalan C Simanjuntak No. 60 itu. Faiq pun melompat turun, karena bus kota itu sudah tancap gas sebelum tuntas menurunkan beberapa penumpangnya. Entah kenapa? Memang sudah menjadi kebiasaan bagi sang sopir berbuat demikian. Bahkan biasa dibarengi canda sang kernet dengan bermacam celotehan yang membuat para penumpang pada nyengir. Misalkan saja ketika nenek-nenek mau turun, sang kernet berteriak :” Awas…! Awas..! Anggur mau turun!”, maksudnya ada merek jamu ‘anggur: cap orangtua’, maksud sebenarnya ya ‘orangtua’ yang hendak turun dari bus kota itu, supaya penumpang lain memberikan jalan. Masak orangtua dibilang anggur. Ayak-ayak wae. Atau juga seorang Mbok-Mbok yang bawa bakul, bakul itu sang kernet asumsikan sebagi televisi. “Awas televisi! Mau turun…!” teriak sang kernet. Padahal Mbok-Mbok bersama bakulnya itu yang hendak turun. Enek-enek ae tho rek!
Faiq berlalu menuju pintu gerbang MAN Yogyakarta I tanpa peduli dengan bus kota dan candaan sang kernet itu lagi sebagaimana penumpang lainnya. Hanya ada juga sedikit kegelian yang menyelinap dibatinnya. Dia tahu karena mendapat penjelasan dari penumpang yang duduk bersebelahan dengannya tadi.
Ada dua pintu gerbang, sebelah selatan dan utara. Masing-masing punya pintu dorong setinggi dua meter. Ada satpam yang menjaga. Tapi pintu dorong berbentuk pagar besi itu sudah terbuka lebar. Faiq pun langsung masuk melalui gerbang sebelah selatan yang terbuka lebar itu tanpa basa-basi menuju loket pendaftaran. Ada ratusan siswa sedang antre pada loket itu. Ia pun ikutan antre, dan hampir setengah jam dia pun akhirnya mendapatkan formulir. Ada bangku kosong di pojok pekarangan sekolah, di bawah pohon Akasia yang cukup meneduhi dari terpaan matahari jelang siang. Ia menuju ke sana bermaksud mengisi formulir itu untuk langsung mengembalikannya ke panitia, meski batas pengembalian masih tiga hari lagi. Sebagian besar calon siswa yang antre tadi setelah mendapatkan formulir langsung meninggalkan sekolah itu tanpa mengisinya buru-buru sepertinya. Maklum penduduk asli. Tapi madrasah ini siswanya hampir semua suku dari seluruh penjuru Indonesia ada di sana. Bahkan ada juga beberapa siswa keturunan Muslim Tionghoa.***
~oOo~
Karena faktor waktu dan biaya yang pas-pasan, maka ia putuskan saja untuk mengisi formulir itu dan sekaligus mengembalikannya ke panitia penerimaan siswa baru hari ini juga. Kini dia mulai mengukir namanya di atas blangko isian formulir dengan polpennya. Saking asyik dan antusiasnya dalam mengisi formulir itu, nyaris dirinya tidak peduli dengan kehadiran seorang gadis ayu bermata biru bak bidadari yang juga berhasrat mengisi blangko isian formulir itu.
“Permisi!” Sapa gadis ayu bermata biru bak bidadari itu mengagetkannya “ma’af, numpang ‘dikit!” pinta gadis cantik, ayu, manis, anggun dan entah pujian apalagi. Yang jelas selebihnya pujian bagi sang Pencipta gadis itu, Allah Azza Wajalla. Gadis ayu bermata biru bak bidadari itu telah duduk di sampingnya.
Faiq sempat deg-deg nyuusss. Baru kali ini jantungnya berdetak kencang seperti mau copot ketika melihat lawan jenisnya. Entah, bidadari dari mana tiba-tiba makpethungul hadir di depannya. Dulu dia punya sahabat Nina Handayani di Jakarta, tapi tidak pernah ada debaran hebat yang merobek-robek hatinya seperti ini. Hanya sebatas sahabat terbaik, tidak lebih! Suwer…dikewer-kewer! Begitu kilahnya.
“Ma’af, boleh numpang ‘dikit?!” kalimat oratoris gadis manis itu kembali diulangnya dari bibir mungilnya. Manis sekali. Hidungnya? Duh! Alisnya? Ah! Rambutnya? Wow! Tergerai menyebar bau wewangian yang mengundang hajat jiwa memesona.
“Si…si..silahkan.” Faiq El-Farisy akhirnya mepersilahkan dengan suara gemetaran. Jantungnya makin keras berdetak. Tak karuan. Untung sudah menyelesaikan isian formulirnya. Tapi kesempatan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Paling tidak, bisa tahu nama gadis itu. Lebih-lebih bisa kenal lebih dekat, atau kalau bisa lebih dari itu. Alhamdulillah. Hatinya campur aduk antara rasa takut dan harapan. Berkenalan apa tidak? Ragu-ragu dan perasaan minder tengah menghantui hatinya. Lalu dia pura-pura sibuk dengan formulirnya, sambil sesekali melirik ke arah wajah ayu Gadis Ayu bermata biru bak bidadari itu. Wajah putih, bahkan sangat putih dan mulus. Alis matanya lentik, bola matanya yang putih kebiru-biruan, hidungnya yang mancung, bibir mungil yang merah merekah. Duh, memesona! Kembali jantungnya berdetak keras bila memandang wajah gadis manis itu. Tak disadarinya dia telah menelan kembali ludahnya beberapa kali. Sejenak dia tunduk, sejenak lagi matanya nakal melirik ke wajah gadis ayu bermata biru bak bidadari itu. Tak tahan matanya untuk melewatkan wajah nan ayu itu biar sekejap saja. Tapi ketika matanya sekali lagi melirik ke wajah gadis itu, ternyata tak bisa terhindarkan, keempat mata mereka telah bersiadu tatap tanpa diduga. Treng..! Dia cepat menarik pandangannya dari wajah ayu kembali ke formulirnya. Begitu salah tingkahnya ia. Jantungnya semakin berdetak kencang. Harus berkenalan! Terdengar suara yang kuat bergetar dari dinding hatinya. Namun salah tingkahnya tak bisa dia sembunyikan. Awal dari kisah manis di Yogyakarta, gumamnya dalam hati. Atau malah akan menjadi kisah tragis! Astaghfirullah…. Na’udzubillahimindzalik.
“Boleh pinjam polpennya?” tiba-tiba pinta gadis ayu itu membuyarkan khayalan ngelanturnya. Ternyata pulpen Gadis Ayu itu macet tiba-tiba.
“Bo…bo…boleh, si…si…silahkan…! Pa…pakai saja.” Faiq jelas nampak gugup sambil menyodorkan polpennya. Tangannya gemetaran. Grogi, tapi pucuk dicinta ulampun tiba. Begitu kata hatinya berbunga-bunga. Deg!
“Alumni mana?” Tanya gadis manis itu sambil mengisi formulirnya dan tanpa menghiraukan yang ditanya.
“Tsanawiyah di Jakarta” jawab Faiq masih berbunga-bunga.
“Jauh amat!” Gumam gadis itu masih tanpa peduli sama yang ditanya.
“Pingin saja menimba ilmu di kota pelajar.” Ungkapnya tanpa diminta. Sekenanya.
“Pinjam formulir isiannya. Boleh kan?” pinta sang gadis ayu tiba-tiba dengan nada oratoris lagi, sambil sedikit menoleh ke arah Faiq. Faiqpun memberikan formulir yang telah diisinya kepada gadis ayu yang miripnya melebihi wajah-wajah bintang sinetron cantik nan molek itu, tentu dengan sedikit grogi. Gadis ayu bermata biru bak bidadari itu lalu mencontek isian formulir Faiq El-Farisy, tentu sesuai dengan data dirinya. Sedikit-sedikit Faiq El-Farisy melirik kearah gadis itu. Hus haram! Peliharalah pandanganmu dari perbuatan zina. Tapi sungguh sulit untuk menghindarinya. Baru kali ini ia benar-benar kalah tak bisa menahan gejolak batinnya yang kian membara. Apakah ini yang dinamakan hubusysyahwat, atau hanya gejolak cinta monyet yang tiba-tiba saja hadir lalu menggeliat hingga ke palung hatinya. Atau cinta biasa yang hadir normal bagi remaja yang telah menginjak dewasa? Atau pertanda bahwa ia sedang jatuh cinta dengan cinta pertamanya? Entahlah.
“Ndak salah ini, isian tahun kelulusannya kok….?” Koreksi Gadis Ayu itu tiba-tiba tanpa menoleh ke arah yang ditanya sedikitpun.
“Oh …ya! Saya lulus tahun lalu. Tapi orangtua tak mengizinkan saya sekolah di sini.” Potongnya dengan sedikit berbohong. Memang, seharusnya dirinya sudah kelas tiga SMA atau Madrasah Aliyah. Dirinya juga telat masuk Ibtidaiyah dulu. Delapan tahun baru masuk Madrasah Ibtidaiyah di Jakarta. Maklum orangtuanya tak sanggup membiayai sekolahnya atau lebih tepatnya tak mau membiayai sekolahnya. Karena tekad dan kemaunnya untuk maju, maka sepulang sekolah dia gunakan waktunya untuk berjualan Es Campur keliling demi mencukupi keperluan sekolahnya. Dia iri saat ia melihat anak seusianya berbondong-bondong dengan seragam putih merah dan sepatu hitam menuju sekolah mereka masing-masing dengan antusias demi meraup masa depannya esok. Duh ….!
“O..” ucap Gadis Ayu itu sembari mengangguk-angguk.
Akan tetapi memang keinginannya untuk melanjutkan sekolah di Yogya ini sungguh sangat menggebu. Dengan peristiwa yang menimpanya kini, akhirnya cita-citanya untuk sekolah di kota Gudeg ini jadi kesampaian juga. Peristiwa yang menyedihkan itu kini terasa menjadi segenggam berkah buat dirinya, karena dipertemukannya dengan gadis ayu bermata biru bak bidadari yang kini tengah sibuk mengisi blangko formulir di sampingnya. Nasib-nasib. Sempat juga ia tersenyum, hatinyapun menjadi semakin berbunga-bunga. Duh Ya Robby kulo!
Nyaris seperempat jam menulis sambil berbincang, gadis itu pun menyelesaikan isian formulirnya. Kemudian mengembalikan isian formulir sekaligus polpen yang dipinjamnya kepada Faiq El-Farisy. Setelah berterima kasih kepada Faiq El-Farisy, gadis itu pun berlalu meninggalkannya tanpa didahului dengan PI (Personal Introduction) . Cuek bebek, gitu loh!
Faiq El-Farisy pun baru saja tersadar dari lamunannya, sampai-sampai ia lupa berkenalan dengan gadis belia nan ayu itu. Ketika ia ingin memanggilnya kembali, gadis itu sudah menghilang, lenyap dari pandangannya. Bagai ditelan mimpi. Tapi sanggupkah ia berteriak dengan lantang dengan semangat empat lima untuk memanggil gadis itu, jika saja gadis itu masih berada di pelupuk matanya? ‘Aku ini arjunamu…! Aku ini belahan jiwamu…! Aku ini…?!’ Fuih! Gaya Eloe tuh, Iq…!
Sekali-kali ia usap matanya. Sedang mimpikah aku ini? Gumamnya. Ternyata bukan mimpi, ia ketemu dengan Gadis Ayu bermata biru bak bidadari dari surga itu baru saja. Ini nyata, sangat nyata. Tapi apakah bukan akan menjadi mimpikah dia akan kembali bertemu dengan Gadis Ayu itu? Akankah bertemu kembali kelak? Dan kini ia sangat berharap untuk bisa bersua kembali dengan gadis itu di sini, di MAN Yogyakarta I ini. Atau di mana saja kelak, yang terpenting bisa lebih dekat dan sampai melekat perkenalan itu, bagai lem besi. Tak terpisahkan.
Dengan sejuta rasa penyesalan dan berat hati berpisah dengan gadis ayu bermata biru bak bidadari itu, akhirnya iapun beranjak meninggalkan bangku di bawah pohon Akasia yang teduh itu. Akankah menjadi sejarah dan kenangan yang terindah kelak di kemudian hari atau di hari kemudian? Insya Allah!. ***
~oOo~
Setelah menyetor kembali isian formulir pendaftaran yang telah ia tandatangani plus pas foto hitam putih setengah badan, iapun menerima kartu tes dan meninggalkan loket dua itu. Ia tak langsung pulang ke rumah Bowo tempat menginapnya. Karena memang ia tak akan kembali ke rumah itu saat ini. Kosong ditinggal seluruh penghuninya. Bowo sempat meminta ma’af juga sebelum berangkat ke Ngawi tadi pagi.
Kini ia berjalan menuju Padmanaba di Kota Baru untuk mengadu nasib di sana. Sekali-kali ia berhenti, bertanya kepada para tukang becak. Kadang-kadang yang ditanya hanya kelihatan geleng-geleng kepala, tidak tahu. Bahkan ada juga yang langsung menyodorkan becaknya untuk naik, dikiranya mau menumpang.
Ia terus melanjutkan perjalanannya. Dan belum ada juga petunjuk di mana letak gedung Padmanaba. Sudah dua ratus meter dia berjalan, hampir tengah siang. Keringat membasahi bajunya yang sudah dua hari ini tidak dicucinya. Sesekali ia lap ke mukanya saputangan motif kotak-kotak berwarna coklat yang sedikit kumal itu. Perutnya juga mulai bernyanyi, nge-jazz, bahkan keroncongan sekaligus ndangdutan, minta diisi. Tadi pagi hanya makan dengan mie instant. Tidak ada yang masak di rumah Bowo. Semua ke Ngawi. Padahal di luar pekarangan MAN Yogyakarta I tadi dikelilingi oleh penjual Kentaki, maksudnya, kentara kakinya, kelihatan kakinya dari jalanan kalau orang lagi makan dibawah tenda kaki lima itu. Mau sayur bening dengan pegor (tempe goreng) atau rempeyek udang, atau sate usus dan sate telur puyuh, ikan goreng bumbu lombok juga ada. Bahkan sepotong goreng ayam kampung yang seratus persen halal. Bukan gelonggongan apalagi tiren. He..he…he. Kalau mau menu yang ringan sedikit berat juga boleh, yakni Borjo, bubur kacang hijau dicampur ketan hitam yang disiram santan kental lalu ditaruh es di atasnya ditambah susu kental manis. Enak sekali. Mantep gitu! Kata mbah Surip. Bahkan anak madrasah dan mahasiswa Gama sudah menjadi langganannya. ***
~oOo~
Langkahnya lurus kea rah selatan menyusuri trotoar jalan C. Simanjuntak itu. Udara semakin panas menyengat. Keringatpun makin mengucur deras meleleh ke seluruh tubuhnya. Membasahi bajunya yang sedikit lusuh itu. Ingatannya kepada gadis ayu bermata biru bak bidadari yang dijumpainya tadi pagi tidak bisa juga ia delet dari memorinya. Kapan dirinya bisa dipertemukan kembali. Kelak saat pelaksanaan tes tertulis di MAN Yogyakarta I, atau bahkan dalam pendaftaran di Padmanaba selekasnya. Itu harapan yang teramat dalam yang bercokol di lubuk hatinya. Sungguh pertemuan sekilas yang melambungkan seluruh angan-angannya. Senyum kecutnya tersungging tipis dibibirnya. Apalagi sebentar malam ia tidak tahu harus bermalam di mana?. Mungkin di Musholla atau di Masjid saja atau bahkan di trotoar depan ruko di Jalan Malioboro dekat angkringan atau lesehan yang buka sampai subuh. Entahlah.
Lelaki muda itu berhenti di trotoar, di bawah pohon Munggur yang tumbuh menjulang dan rimbun di halaman rumah keluarga dokter spesialis mata. Dahan dan rantingnya menjulur sampai ke atas jalan raya. Meneduhkan dari sengatan teriknya matahari siang bolong. Kendaraan masih lalu lalang sibuk memadati jalanan. Sekejap ia menghela napasnya dalam-dalam dan sesekali menelan ludahnya. Merenungi nasibnya yang sedikit tak bersahabat itu yang tak kunjung usai pula. Sudah dua puluh menit ia berteduh di trotoar bawah pohon Munggur itu. Semilir angin berhembus telah mengeringkan keringat di badan. Belum tahu kemana lagi arah langkah kakinya akan menuju. Tapi ia kini harus tetap melangkahkan kakinya untuk mencari lokasi gedung SMA Padmanaba berada. Tidak boleh kalah dengan terik dan panasnya siang bolong. Dia harus bisa menundukkan kerasnya hidup ini. Modal satu-satunya hanya menuntut ilmu secara formal untuk mendapatkan surat tanda tamat belajar. Paling tidak. Oleh karenanya tak boleh patah semangat. Bahkan semangat itu harus selalu dipompanya untuk meraih masa depannya kelak. Cita-cita yang setinggi-tingginya untuk meraih bakti cinta kedua orangtua yang telah tega mengusirnya. Ingin membuktikan bahwa dirinya tidak dendam, bahkan ia ingin membalasnya dengan sejuta kasih jika dirinya kelak telah berhasil merengkuh seluruh cita-citanya itu. Dia akan kembali ke Jakarta untuk membuktikan bahwa dirinya bisa. Kemudian juga, bukankah gadis manis nan ayu yang dijumpainya tadi pagi sempat juga mendorong semangatnya menjadi kembali fresh dan menggebu? Duh Gusti…!
Dia pun bangkit untuk melanjutkan perjalanannya setelah semangatnya kembali pulih karena terdorong oleh cita-citanya yang tiba-tiba saja muncul dari palung hatinya yang paling dalam. Bukankah kepergiannya ini untuk menunjukkan jika jati dirinya begitu tegar, begitu kuat, dirinya harus mampu menundukkan kerasnya kehidupan dunia ini. Justru tantangan-tantangan seperti inilah yang bisa menjadi pendorong atas keberhasilannya kelak. Insya Allah.
Senyumnya kembali mengembang dan tampak lebih bersemangat kembali. Namun bukan pernyataan-pernyataan itu saja yang memompanya kembali bersemangat. Lebih pada pertemuannya dengan gadis ayu bermata biru bak bidadari, di bangku bawah pohon Akasia yang teduh, di MAN Yogyakarta I yang kini membuat harapannya kembali menyeruak dahsyat mencongkel-congkel dinding batinnya.
Setelah meneguk air kemasan yang ia beli dari penjual gerobak dorong yang lewat baru saja, ia pun segera meninggalkan rindangnya pohon Munggur yang telah memulihkan kesegaran kembali perasaannya. Keringat yang mengucur membasahi bajunya, telah mengering. Kakinya pun kini telah terasa ringan untuk melangkah kembali menyusuri sepanjang trotoar jalanan kota. Sesekali langkahnya berhenti untuk menanyakan letak dan alamat SMA Padmanaba pada tukang becak yang sedang nongkrong di atas becaknya menunggu penumpang. Tapi tak seorang tukang becakpun yang tahu keberadaan sekolah yang tengah dicarinya itu. Akhirnya tak terasa perjalanannya sudah hampir sampai bangunan sebuah tugu yang berdiri tegak di tengah perempatan ujung jalan yang bergaris lurus dengan jalan Malioboro itu. Layaknya monumen yang berdiri tegar menunjukkan salah satu ragam spesifikasi bagi kota Yogya. Yah..salah satu icon kota Yogyakarta, meski bukan cuma itu saja spesifikasi kota Yogyakarta ini, tapi masih banyak keunikan lainnya yang menjadi cirikhas kota Yogya ini. Laiknya julukan bagi Daerah yang Istimewa.
Mobil, sepeda motor juga sepeda onthel atau sepeda pancal serta becak, tengah berlalu lalang di sana. Bahkan kereta yang ditarik kuda juga tengah mendominasi jalanan. Andong, atau dokar begitu orang biasa menyebutnya. Sangat sibuk, seperti kota lainnya. Di sana ia bertanya kepada mas-mas yang baru saja keluar dari sebuah toko buku, berpakaian sedikit rapih dengan baju lengan panjangnya yang dilipat hampir sampai siku. Mahasiswa barangkali, pikirnya.
“Oh. Ya! Adik jalan saja lurus ke arah timur melewati jembatan, dan setelah sampai perempatan jalan, adik belok ke arah kanan. Ndak nyampe seratus meter, di situ SMA Padmanaba. Mau lebih cepat, bisa naik becak saja !” Usul Mas itu dengan logat Ngayogjokarto Hadiningrat.
“Ya, Mas! Terima kasih.” Faiq membungkuk hormat pada mas-mas itu.
“Sama-sama, Dik.”
Ternyata dia salah arah jalan. Dari jalan C. Simanjuntak belok ke kanan. Padahal seharusnya belok ke kiri, kemudian belok ke kanan sedikit sudah sampai. Dia sempat tersenyum kecut. Terpaksa dia kembali menyusuri trotoar yang telah jauh dilewatinya tadi. Dia tak menggubris usulan Mas yang ia tanya tadi untuk menyewa becak. Ingat! Hemat pangkal pandai, eh, kaya!
Empat puluh lima menit iapun sampai di SMA 3 Padmanaba. Keringatnyapun kembali bercucuran membasahi bajunya yang mulai lusuh, akibat debu yang lengket. Diapun kembali tersenyum kecut. Pantas saja si abang becak tidak tahu. Kalau saja dia menyebut SMAN 3, dari tadi sudah sampai ke sana. Dikiranya sekolah swasta, tahunya negeri. Iq…..Faiq…., dasar otak Eloe memang belel…!
Lain dengan MAN Yogyakarta I, yang di halamannya hanya ditumbuhi oleh beberapa pohon Akasia saja. Di pekarangan SMAN 3 Padmanaba Yogya ini tumbuh beberapa pohon yang menjulang rimbun persis pohon tempat ia berteduh sejenak untuk istirahat di trotoar depan rumah seorang dokter spesial mata di jalan C. Simanjuntak tadi. Cuma bentuk daunnya ada perbedaan yang menyolok, pohonnya penuh akar yang menggantung, kayak pohon beringin. Tapi biarkan saja pohon-pohon itu tetap berdiri kokoh menaungi pekarangan Padmanaba. Tujuan terpentingnya hanya satu eh dua ding! Pertama mendaftar untuk menjadi almamater sekolah terfavorit ini. Yang kedua ingin bertemu kembali dengan Si Gadis Ayu bermata biru bak Bidadari itu. …Wakakakakakak.***
Yang antre sisa beberapa siswa saja. Dia pun langsung ikut berbaris di loket antrean. Ada beberapa calon siswa menyusul di belakangnya. Selama seperempat jam dia mengantre, akhirnya dapat juga formulir itu. Jam setengah satu loket itu di tutup. Besok hari terakhir pendaftaran dan lusa terakhir pengembalian formulir. Faiq El-Farisy duduk di teras sekolah itu sejenak melepas penatnya, sampai loket itu ditutup baru dia beranjak meninggalkan pekarangan Padmanaba mencari tempat beristirahat dan tempat menginap malam nanti. Musholla atau masjid, atau numpang di emperan pertokoan di Malioboro dekat lesehan.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup lantunan merdu suara adzan dari corong sebuah masjid. Ia melangkahkan kakinya menuju ke sana. Perlahan semakin jelas terdengar suara mengagungkan asma Allah itu, meski suara deru mesin kendaraan yang lalu lalang itu sempat mengganggunya. Akhirnya sampai juga di Masjid tepat selesai adzan berkumandang. Kira-kira perjalanan dua ratus meter jarak dari SMA 3 ke arah timur.
Kini Faiq El-Farisy sementara mengambil air wudhu’ dan segera berserah diri keharibaan Ilahi Robbi bersama jama’ah dzuhur lainnya, dilanjutkan tafakur, wirid, istighfar…. Asytaghfirullohal’adziim…, Laailaaha illallohu wahdahulaasyarikalah lahululmulku walahulhamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ‘alaa kullisyaiin Qodiir. Subhanalloh Walhamdulillah Walailaha-illallohu wallohu Akbar. ***
~oOo~
Malam ini dia masih berada di masjid. Dia sudah minta izin pada ta’mir masjid untuk menginap semalam saja di masjid ini. Tetapi justru Pak Sholichin, ta’mir masjid itu, mengizinkan untuk menginap beberapa malam di gudang yang kosong, setelah dia terpaksa mengutarakan cerita tentang sebab dirinya sampai berada di kota Yogya ini. Gudang itu bersebelahan dengan tempat tinggal keluarga Pak Sholichin. Tak luas, ukuran dua kali tiga. Pak Sholichin, yang usianya limapuluhan itu, sudah hampir sepuluh tahun tinggal di rumah petak inventaris milik masjid ini bersama istrinya yang lebih muda delapan tahunan itu. Di sana pula mereka memperoleh momongan setelah lebih lima tahun mereka menikah. Fuadiyono, nama anak mereka. Usianya menginjak delapan tahun. Baru saja naik ke kelas dua SD. Ingatan Faiq El-Farisy kembali kepada Naura. Naura yang satu-satunya menangisi saat kepergiannya itu juga baru naik ke kelas dua SD. Naura………! Hasrat untuk meneriakkan nama adik tercintanya itu seakan menghilangkan akal sehatnya. Seandainya saja memungkinkan, dirinya sangat ingin membawa Naura ikut bersamanya kemana saja ia pergi saat ini. Dan dirinya ingin tidak kesepian seperti sekarang ini. Matanya mulai berkaca-kaca kembali.
Pak Sholichin yang asli Gunungkidul itu tak sengaja merantau ke ibukota Yogya ini. Pak Haji Sahroni yang menawarkan pekerjaan di masjid itu. Sambil buka warung kaki lima di halaman masjid, kata beliau. Kebetulan Haji Sahroni adalah Ketua Pengurus masjid itu sampai sekarang. Sudah empat periode beliau terpilih menjabat sebagai ketua masjid ini. Beliau terpilih secara aklamasi dalam pemilihan berkala lima tahunan. Kenal sama Haji Sahroni, ketika Haji Sahroni mengadakan study penelitian sosiologi untuk melengkapi desertasi S3-nya di kampungnya di Gunung Kidul, sepuluh tahun silam. Haji Sahroni yang sekarang guru besar di Gajah Mada itu telah bergelar Prof. Dr. H. Sahroni Adam, M.Si. dan mengajar di beberapa universitas di kota ini. Bahkan biasa presentasi ke luar pulau Jawa sebagi nara sumber dan sebagai dosen terbang. Sibuk. Rumahnya yang besar di ujung jalan gang itu, sekitar lima puluh meter jaraknya dari masjid, hanya seperti tempat peristirahatan saja. Seluruh keluarga di rumah itu sibuk. Istrinya seorang dokter spesialis yang bertugas di RS Sardjito merangkap di RS PKU. Dan tiga anaknya masing-masing sibuk dengan kuliahnya. Yang tua alumni MUHI, yang satu alumni MAN Yogya I, dan yang bungsu alumni SMAN I Teladan Tahun lalu. Mereka di Gajah Mada semua. Yang dari MAN Yogya I sekarang sudah smester empat teknik nuklir di UGM. Prasojo namanya.
Suara desahan kereta itu membangunkan Faiq El-Farisy dari mimpinya tepat jam tiga dini hari lewat tiga puluh menit. Belum terbiasa. Mimpi itu sedikit membawa hatinya gelisah. Syetan! Hampir saja ia berteriak, mengumpat! Tapi ia tahan setelah sadar bahwa dirinya berada di kampung orang. Tidak boleh terjadi, hanya karena mimpi, hatinya menjadi gulana seperti ini. Ini perbuatan Syetan untuk mematahkan semangatnya dan putus asa. Kemudian seluruh impiannya yang telah terkemas rapi kini akan menjadi bias akhirnya musnah tersaput kegamangan.
Faiq El-Farisy terdiam sejenak, baru kemudian ia pun bergegas bersuci diri dan bermunajat cinta kepada Al-Malikul Quddusus Salam. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. Seperti biasanya. Minimal tiga roka’at dia kerjakan dan dini hari ini lengkap sebelas roka’at dia selesaikan tahajudnya bersama witir dalam dua puluh lima menit, dia tambah lima belas menit untuk berdzikir dalam munajat cintanya. Ada beberapa do’a yang ia munajatkan dini hari ini. Termasuk permohonan untuk dipertemukannya kembali dengan gadis ayu bermata biru itu. Hatinyapun mereda dan menjadi tenteram dan istiqomah .
~oooOhdrOooo~
Iki novel kapan dadine.....
BalasHapus